Kesuksesan studi di Universitas Al-Azhar
Sejarah Pendidikan
“Mengalir mengikuti jenjang pendidikan
saja” beberapa petikan ucapan beliau ketika ditanya tentang
pendidikannya. Pria kelahiran Jakarta, 18 Agustus 1971 ini sebenarnya tidak
pernah membayangkan akan menjadi mahasiswa Universiatas Al-Azhar seperti
sekarang ini. Semasa kecilnya ia memang sudah giat belajar dibeberapa lembaga
pendidikan, semasa tingkat dasar misalnya, ia belajar pada tiga tempat, pagi
hari ia belajar di Sekolah Dasar, siang harinya belajar di Madrasah
Ibtidaiyyah, dan sore harinya ia sempatkan untuk mengaji al-Quran. Setelah
menyelesaikan tingkat dasarnya, ia melanjutkan ke Pondok Pesantren Modern Gontor
selama 6 tahun. Selesai di Gontor ia terpikir untuk melanjutkan studinya ke
Perguruan Tinggi, namun sebelum ia masuk ke perguruan tinggi ia sempatkan
mengaji untuk memperdalam al-Quran dahulu di Ma’had Aly di Bangil. Lalu ia pun
terpikir harus banyak tahu lagi tentang al-Quran dan untuk melengkapi
pengetahuan tentang al-Quran, ia lanjutkan studinya di Ponpes Sunan
Pananarang-Jogjakara, setelah selesai, Kyainya pun berpesan kepadanya untuk
melanjutkan ke Cairo saja, mengambil fakultas Ushuluddin jurusan Tafsir. Namun
sebenarnya dalam hati nuraninya ia mempunyai dua keinginan antara melanjutkan
ke Cairo atau ke Madinah, di Madinah ia ingin masuk Kuliyyah al-Quran, tetapi
ketika itu calon mahasiswanya dibatasi dari Indonesia. Tak bisa melanjutkan di
Madinah, hanya ada satu pilihan melanjutkan di Cairo, di sana yang sesuai
dengan bidang beliau adalah Universiatas al-Azhar.
Semasa belajar di al-Azhar
Tentang cara belajarnya di Cairo ini, Pria yang sudah
mendapat gelar Doktor pada tanggal 06 Maret 2006 hanya berusaha untuk “belajar
dengan serius”, dari belajarnya tak banyak yang ia targetkan. Pada tingkat satu
misalnya, ia memiliki target untuk mengetahui standar kemampuan. Menurutnya
mengukur kemampuan dalam belajar, kemampuan dalam memahami buku sangat penting
sekali guna untuk mendapatkan hasil yang terbaik. Pada tingkat satu ini yang
ketika itu ujian hanya dilakukan dalam satu term saja, ia mendapat peringkat
Jayyid Jiddan yang pada masa itu cukup dibilang langka, bayangkan saja dari
2600 mahasiswa Indonesia hanya 2 orang saja yang mendapat nilai Jayyid Jiddan,
salah satunya adalah ia sendiri. Semasa tingkat satu ini ia fokuskan untuk
belajar saja, ia belum mau menyibukkan dirinya di organisasi. Namun pada
tingkat dua ia mulai menyibukkan dirinya di organisasi-organisasi yang ketika
itu belum begitu banyak seperti sekarang ini. Perjalana organisasi ini
berlanjut terus hingga tingkat empat. Selesai S1 seluruh organisasi yang ia
aktif didalamnya ia tinggalkan karena ingin melanjutkan ke Strata 2, selain itu
tamhidi S2 ini menurutnya sangat sulit sekali. Tetapi alhamdullillah tahun pertama
ia lulus tamhidi yang waktu itu satu kelas berjumlah 30 orang, namun yang lulus
hanya 3 oarang. Tahun ke 2 jadi hanya 3 oarang namun akhirnya yang satu orang
mafshul. Pada 1998 ia putuskan untuk
balik sementara ke tanah air selama 8 bulan lamanya, ia kembali lagi ke Ciro
sekitar bulan Mei 1999. Pada bulan November 2000 ia sudah menyelesaikan Risalah
Majisternya. Ia menikah pada bulan Oktober 2000 sebulan sebelum ia
menyelesaikan risalahnya. Tak puas dengan strata 2nya ia melanjutkan Strata
3nya di Universitas yang sama, Al-Azhar. Semasa S3 sudah sebanyak 7 proposal
yang ia ajukan dan selalu ditolak dan menempuh waktu selama kurang lebih satu
setengah tahun. Namun ia tak putus asa, akhirnya pada proposal yang ke 8 ini
diterima yang bertepatan pada September 2002. selama menulis Risalah
Dukturohnya ini ia tempuh kurang lebih 3 tahun lamanya, yang ia selesaikan
pada bulan September 2005. menurutnya satu tahun menghasilkan satu jilid karena
Risalah Dukturohnya kali ini sebanyak 3 jilid dengan tebal halaman
sebanyak 1413 halaman.
Pendapatnya tentang perbedaan Masisir sekarang dengan
Masisir pada zamannya
“Setiap masa tantangannya pasti berbeda”
begitulah ia awali jawabannya ketika di tanya tentang perbedaan Masisir
sekarang dengan Masisir pada zamannya. Dari segi akademis ia memberikan
beberapa perbandingan, misalnya; perbedaan sistem ujian. Dahulu ujian hanya
ditempuh dalam satu term saja, kelebihannya adalah panjangnya limit waktu untuk
mempelajari satu muqoror, jadi untuk lebih memperdalam materi-materi yang ada
di muqoror ada waktu yang cukup panjang, serta adanya Shuhbah Ustadz,
karena masa muhadloroh lebih banyak, tapi ada kekurangannya juga; timbulnya
kejenuhan disebabkan dengan lamanya masa imtihan yang kurang lebih memakan
waktu satu-dua bulan. Namun beberapa tahun kemudian sistem satu term ini
dirubah menjadi dua term, kelebihan dari dua term ini adalah kemudahan dalam
ujian, karena dalam satu term hanya ada setengah dari jumlah maddah yang
ada, sisanya dilanjutkan pada term selanjutnya, tapi kekurangannya adalah
singkatnya waktu memperdalam materi muqoror, yang “digarap” dalam
jangka waktu satu-dua bulan saja. Selain faktor akademis ia menambahkan
perbedaan antara Masisir sekarang dengan Masisir pada zamannya adalah faktor
teknologi dan informasi yang sudah menjamur; misalnya kebanyakan Masisir
sekarang tergoda dengan “chattingan”, film-film mudah didapat, sehingga
kesempatan menonton pun terbuka luas. Namun secara umum ia memberikan gambaran
perbedaan bahwa Masisir sekarang lebih bagus dari dahulu dari segi prestasi
akademis, karena prestasi kelulusan Masisir sekarang lebih bagus, mungkin
karena dibantu dengan dua term sehngga banyak yang mendapatkan nilai bagus.
Management Al-Azhar
Beberapa asumsi yang masuk tentang Al-Azhar adalah “walaupun
ada kekurangan, tetapi kenapa Al-Azhar masih banyak diminati orang?”.
Menanggapi asumsi ini, ia berpendapat bahwa jangan memandang Al-Azhar secara negatif
saja, kalau kita memandang secara positif banyak sekali hal-hal yang bisa kita
ambil. Jangan selalu negative thinking sehingga sesuatu yang menjadi objek pandangan
kita seluruhnya jelek. Menanggapi masalah muqoror yang beberapa tahun ini
memakai basis turots, ia berpendapat bahwa sebenarnya muqoror pasti
referensinya adalah buku-buku turots, namun permasalahannya sekarang adalah
hanya perbedaan langsung atau tidak. Muqoqor yang tidak lansung berformat turots
adalah dari penjabaran dosen langsung, sehingga subyektifitas dosen agak
kelihatan. Tetapi selain itu faktor perubahan dari turots tak langsung kepada
turost langsung diakibatkan karena pergantian rektor pada tahun 2004, rektor baru Dr. Ahmad
Thoyyib menggulirkan beberapa materi ke buku turots langsung. Alasan
pengguliran itu adalah menghindari subyektifitas dari dosen yang menjabarkan
materi muqoror tersebut. Selain itu, untuk membiasakan mahasiswa berhadapan
dengan turots langsung, karena mahasiswa sekarang kurang memahami turots,
karena mereka mungkin terbiasa dengan sesuatu yang instant sehingga hal ini
pasti akan menimbulkan kemalasan.
Pesan untuk Masisir
Ketika diminta untuk memberikan pesan untuk Masisir, ia
berpesan agar kita bisa mengukur kemampuan diri masing-masing dalam belajar,
kemampuan bahasa arab, kemampuan tulis menulis, serta kemampuan berinteraksi
dengan sosial. Selain itu ia menganjurkan kepada masisir untuk meningkatkan
kemampuan bahasa khususnya bahasa arab, baik dari bahasa pasif atau literatur
sebagai pemahaman teks-teks buku, serta bahasa aktif sebagai alat komunikasi.
Menurutnya bahasa sangat penting sekali apalagi untuk komunikasi, dari realitas
yang ada ternyata masih banyak mahasiswa yang belum bisa berkomunikasi
sehari-hari padahal mereka sudah berada dalam komunitas orang-orang arab.
Terakhir ia berpesan agar pandai-pandai dalam mengatur waktu, tiada kesuksesan
tanpa jerih payah dan pengaturan waktu yang tepat, serta jika ingin melakukan
sesuatu lakukanlah yang terbaik dan jangan menunggu hasil, ikuti saja dengan
ikhlas. Wallahu a’lam.
Sumber: Kreasi 2006-2007
0 komentar:
Post a Comment